Monday 21 March 2016

Budaya Politik Indonesia

BUDAYA POLITIK INDONESIA








Disusun Oleh
Nama     :  Risky Wisnu Adrianto
NPM      :  16315071
Kelas     :  1TA04





Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
S1 – Teknik Sipil
Universitas Gunadarma
2015 – 2016





Topik Makalah

Mata Kuliah  :  Ilmu Budaya Dasar
Dosen : Emilianshah Banowo


Topik Makalah

Arti budaya politik bagi masyarakat indonesia




Kata Pengantar

          Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Essa, yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga masih di perkenankan untuk membuat makalah ini.
            Dalam makalah ini, saya sebagai penyusun makalah ingin memaparkan “ARTI BUDAYA POLITIK BAGI MASYARAKAT INDONESIA”. Hal-hal yang terkaji dalam makalah ini merupakan konkret dan berdasar fakta yang ada.
            Akhir kata, saya sebagai penyusun makalah ini menyucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan waktu dan tempat. Mohon maaf bilamana ada kata-kata yang kurang berkenan bagi Bapak/Ibu.

Depok, 16 Maret 2016



                                                                                      Penyusun






BAB 1
PENDAHULUAN

BUDAYA POLITIK
1.       Pengertian Budaya Politik
Pemilu merupakan salah satu contoh dari pelaksanaan budaya politik yang ada di Indonesia. Pengertian dari budaya politik itu sendiri adalah pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya.

Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Dalam hal ini, masyarakat Indonesia diharuskan memiliki kesadaran politik, yaitu turut serta dalam ajang Pemilu yang memang diadakan untuk menyalurkan aspirasi rakyat serta memperbaiki setiap kekurangan maupun kelemahan yang terjadi di Indonesia.


2.       Arti Pemilu
Dalam arti sempit, Pemilu merupakan hak pilih yang diberikan oleh negara kita yang memiliki sistem pemerintahan Republik Presidensial multipartai yang demokratis. Pemilu diadakan dengan tujuan musyawaran mufakat. Kita dapat menyuarakan suara hati kita melalui pemilu. Oleh karena itu sebagai warga negara Indonesia yang baik, sudah seharusnya kita menggunakan hak pilih dengan baik dan bijaksana.

Dengan dilaksanakannya pemilu, berarti pemerintah telah melaksanakan demokrasi sesuai dengan UUD  1945. Adapun dasar pemilihan umum adalah cara pengisian lembaga permusyawaratan yang sesuai dengan asas demokrasi Pancasila yaitu Pemilu.
Pemilu juga merupakan sarana yang bersifat demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat, dan kekuasaan negara yang lahir dengan pemilu adalah kekuasaan yang lahir menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat dan oleh rakyat dan untuk rakyat.

3.        Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan Pemilu (Pemilihan Umum) adalah sarana pelaksanaan demokrasi pancasila secara konkrit. Artinya, sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat di lembaga-lembaga permusyawaratan atau perwakilan yang harus membawa suara hati nurani rakyat. Pemilu juga merupakan pelaksanaan hak politik warga negara RI yang berdasarkan pada asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER) serta jujur dan adil (jurdil). 

Apabila kita dapat memilih wakil-wakil rakyat yang benar, dapat membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan guna mempertahankan dan mengembangkan NKRI. Oleh karena itu gunakanlah hak pilih saudara.




BAB II
PEMBAHASAN

Pemilu, dan Budaya Politik Individual

1.       Permasalahan Pada Masyarkat
HAK suara di pemilu merupakan bagian dari satu standar internasional. Itu merupakan jaminan bagi setiap orang untuk dapat memilih, dan juga dipilih dalam masyarakat demokratis.k
Batas-batas keterpilihan ini harus jelas dan ditetapkan, sehingga daerah pemilihan relatif setara dalam kekuatan pemilih. Keadaan itu akan membuat setiap pemilih memberikan suara yang memiliki tingkat kesetaraan setinggi mungkin. Persaingan di daerah pemilihan yang memiliki populasi setara (Equi-populous) juga memungkinkan pemilih memiliki hak suara yang sama, dan sejajar dalam pemilihan wakil rakyat.
Konsep ideal tersebut sedang dirunut dalam relasi sosial yang terus berkembang. Meski politik kekerabatan dewasa ini cukup menjadi banyak perbincangan, namun hak suara bagi setiap orang tetap saja menjadi hak mutlak. Apabila ingin mengetahui hubungan sikap politik dan non-politik dengan pola-pola perkembangan, maka hal itu harus dapat dipisahkan secara jernih.
Yang terus disadari bahwa sebagian besar masyarakat di Indonesia, pada dasarnya memiliki kecenderungan yang bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang ada memaksa tumbuhnya pemilahan tegas antara penguasa dengan rakyat yang kerap disebut sebagai akar rumput. Masing-masing dipisah melalui tatanan hirarkis yang ketat. Sehingga kebanyakan orang masih setia mengekspresikan diri kepada penguasa dalam ragam tingkah.
2.       Penerapan Pada Masyarakat
Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya. Pendekatan struktural semacam inilah yang  lalu melahirkan konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilu dan lain sebagainya.
Menurut Efriza dalam Political Explorer (2012:492) struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial, atau perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perbedaan kota dan desa, dan bahasa juga nasionalisme. Semua aspek tersebut diprediksi mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihan politiknya.
Stratifikasi sosial dalam kehidupan politik dapat kita lihat dari beberapa kecendrungan, antara lain patronase, dan neo-patrimoniaalistik. .Budaya politik masyarakat berkembang dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di masyarakat itu.
Kecendrungan patronage, pola hubungan ini merupakan salah satu budaya politik yang menonjol, termasuk di Sulawesi Barat. Bentuknya bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam itu dapat ditelusuri dilingkup pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungn dari basisnya.
Tak heran, masih banyak diantara keluarga kita yang meminta pendapat untuk memilih siapa di pemilu legislatif atau pemilu gubernur pun bupati. Mereka tidak berarti tak memiliki kemampuan memilih, tapi lebih disebabkan adanya pengaruh secara personal yang memungkinkannya untuk mengambil keputusan yang sama. Atau paling tidak untuk membuat komparasi sebelum menjatuhkan pilihan.   
Orientasi politik individual  semacam itu dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan, kelekatan dan sempitnya cara menilai obyek atau mungkin peristiwa politik. Hal ini dapat diartikan bahwa sikap warga Negara mengenai respon dan aktivitasnya terhadap sistem politik yang ada masih memerlukan patron, dan itu ditentukan oleh budaya di lingkungannya.
3.       Sistem Politik
Pada sistem politik, perhatian utamanya pada sistem sebagai suatu keseluruhan, termasuk berbagai perasaan tertentu seperti patriotisme dan alienasi, kognisi dan evaluasi terhadap daerah atau bangsa seberapa besar atau kecil. Dan seberapa kuat dan lemah.
Objek pribadi sebagai aktor politik meliputi isi dan kualitas, bukan isi tas pribadi. Yang mengikat kewajiban politik seseorang pada norma-norma, serta kompetensi setiap orang dalam berhadapan dengan sistem politik. Sikap ini berkaitan dengan rasa percaya diri, dan permusuhan yang biasa menyeruak di masyarakat.  



 

BAB III
KESIMPULAN

Partisipasi Politik dan Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Masyarakat

            Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik.[1] Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.

1.       Landasan Partisipasi Politik

Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:
1.      kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. 
2.      kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa. 
3.      lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan. 
4.      partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan 
5.      golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.


2.       Mode Partisipasi Politik

            Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan teror.


3.       Bentuk Partisipasi Politik

            Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:

1.      Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu; 
2.      Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu; 
3.      Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah; 
4.      Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan 
5.      Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.

Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Misalnya, Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat meliputi: (1) Opini publik; (2) Polling; (3) Pemilihan umum; dan (4) Demokrasi langsung. [6] Opini publik adalah gagasan serta pandangan yang diekspresikan oleh para pembayar pajak dan konstituen pemilu.

Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung.

Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui pollinginilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.

Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana, murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.

Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah minimal untuk suatu polling adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya adalah besar. Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras, agama, orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di suatu masyarakat. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam stratified sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan sejenisnya).

Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.

Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja pemerintah.

4.       Demokrasi Langsung

          Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas plebisit dan referendum. Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah tertentu.

           Budaya politik ini merupakan budaya yang sudah sangat melekat pada ciri Negara demokrasi dan salah satunya adalah Negara Indonesia.
Budaya ini sudah sangat melekat pada masyarakat Indonesia dan sudah bertradisi sejak era revolusi 1998. Masyarakat bebas untuk menggunakan haknya untuk memilih pemerintahnya sebagai wakil dari aspirasi masyarakat dan pemerintah yang sudah terpilih dapat menjalankan kekuasaannya sesuai prosedur yang sudah ada.
Tapi sayangnya tahun ke tahun berlalu banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak suaranya, sehingga banyak yang masyarakat yang tidak ikut berpartisipasi dalam pemungutan suara. Hal ini telah di kaji, bahwa hampir 8% masyarakat Indonesia tidak berpartisipasi. Namun demikian banyak juga masyarakat yang ikut berpartisipasi secara langsung mau pun tidak langsung.
Meskipun hal ini sudah bertradisi tapi tidak sedikit yang ikut berpartisipasi secara langsung  dengan mencalonkan diri sebagai wakil rakyat ataupun dengan tulisan-tulisan yang membangun Negara Indonesia ini agar lebih baik lagi, akan tetapi banyak masyarakat yang tidak tepat menyampaikan aspirasinya misalnya dengan demo, ataupun merusak sarana prasarana umum. Hal ini merupakan salah satu penyimpangan dari budaya politik yang tidak seharusnya kita contoh sebagai masyarakat yang berpendidikan.
Harapan saya, agar masyarakat bisa menerima semua kebijakan pemerintah yang ada, baik buruknya program pemerintah masyarakat yang menilai. Berpartisipasilah menurut kaidah dan tataan yang susai dengan masyarakat yang berpendidikan, agar menciptakan masyarakat yang peduli dan mencintai Negara ini. Jadilah panutan bagi Bangsa dan Negara yang baik.





Referensi

(http://citizen6.liputan6.com/read/2027539/arti-pemilu-menumbuhkan-kembali-budaya-politik-indonesia)