BUDAYA POLITIK INDONESIA
Disusun Oleh
Nama :
Risky Wisnu Adrianto
NPM : 16315071
Kelas :
1TA04
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
S1 – Teknik Sipil
Universitas Gunadarma
2015 – 2016
Topik Makalah
Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar
Dosen : Emilianshah Banowo
Topik Makalah
Arti budaya politik bagi
masyarakat indonesia
Kata Pengantar
Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Essa, yang
telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga masih di perkenankan untuk
membuat makalah ini.
Dalam makalah ini, saya sebagai
penyusun makalah ingin memaparkan “ARTI
BUDAYA POLITIK BAGI MASYARAKAT INDONESIA”. Hal-hal yang terkaji dalam
makalah ini merupakan konkret dan berdasar fakta yang ada.
Akhir kata, saya sebagai penyusun
makalah ini menyucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan waktu
dan tempat. Mohon maaf bilamana ada kata-kata yang kurang berkenan bagi
Bapak/Ibu.
Depok, 16 Maret 2016
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
BUDAYA POLITIK
1. Pengertian Budaya Politik
Pemilu merupakan salah satu contoh dari pelaksanaan
budaya politik yang ada di Indonesia. Pengertian dari budaya politik itu
sendiri adalah pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara,
penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat
istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap
harinya.
Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Dalam hal ini, masyarakat Indonesia diharuskan memiliki
kesadaran politik, yaitu turut serta dalam ajang Pemilu yang memang diadakan
untuk menyalurkan aspirasi rakyat serta memperbaiki setiap kekurangan maupun
kelemahan yang terjadi di Indonesia.
2. Arti Pemilu
Dalam arti sempit, Pemilu merupakan hak pilih yang
diberikan oleh negara kita yang memiliki sistem pemerintahan Republik
Presidensial multipartai yang demokratis. Pemilu diadakan dengan tujuan
musyawaran mufakat. Kita dapat menyuarakan suara hati kita melalui pemilu. Oleh
karena itu sebagai warga negara Indonesia yang baik, sudah seharusnya kita
menggunakan hak pilih dengan baik dan bijaksana.
Dengan dilaksanakannya pemilu, berarti pemerintah telah melaksanakan demokrasi sesuai dengan UUD 1945. Adapun dasar pemilihan umum adalah cara pengisian lembaga permusyawaratan yang sesuai dengan asas demokrasi Pancasila yaitu Pemilu.
Pemilu juga merupakan sarana yang bersifat demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat, dan kekuasaan negara yang lahir dengan pemilu adalah kekuasaan yang lahir menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat dan oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dengan dilaksanakannya pemilu, berarti pemerintah telah melaksanakan demokrasi sesuai dengan UUD 1945. Adapun dasar pemilihan umum adalah cara pengisian lembaga permusyawaratan yang sesuai dengan asas demokrasi Pancasila yaitu Pemilu.
Pemilu juga merupakan sarana yang bersifat demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat, dan kekuasaan negara yang lahir dengan pemilu adalah kekuasaan yang lahir menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat dan oleh rakyat dan untuk rakyat.
3.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan Pemilu
(Pemilihan Umum) adalah sarana pelaksanaan demokrasi pancasila secara konkrit.
Artinya, sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat di lembaga-lembaga
permusyawaratan atau perwakilan yang harus membawa suara hati nurani rakyat.
Pemilu juga merupakan pelaksanaan hak politik warga negara RI yang berdasarkan
pada asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER) serta jujur dan adil
(jurdil).
Apabila kita dapat memilih wakil-wakil rakyat yang benar, dapat membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan guna mempertahankan dan mengembangkan NKRI. Oleh karena itu gunakanlah hak pilih saudara.
Apabila kita dapat memilih wakil-wakil rakyat yang benar, dapat membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan guna mempertahankan dan mengembangkan NKRI. Oleh karena itu gunakanlah hak pilih saudara.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemilu, dan
Budaya Politik Individual
1.
Permasalahan Pada Masyarkat
HAK suara di pemilu merupakan bagian dari satu
standar internasional. Itu merupakan jaminan bagi setiap orang untuk dapat
memilih, dan juga dipilih dalam masyarakat demokratis.k
Batas-batas keterpilihan ini harus jelas dan ditetapkan,
sehingga daerah pemilihan relatif setara dalam kekuatan pemilih. Keadaan itu
akan membuat setiap pemilih memberikan suara yang memiliki tingkat kesetaraan
setinggi mungkin. Persaingan di daerah pemilihan yang memiliki populasi setara
(Equi-populous) juga memungkinkan pemilih memiliki hak suara yang sama,
dan sejajar dalam pemilihan wakil rakyat.
Konsep ideal tersebut sedang dirunut dalam relasi sosial yang
terus berkembang. Meski politik kekerabatan dewasa ini cukup menjadi banyak
perbincangan, namun hak suara bagi setiap orang tetap saja menjadi hak mutlak.
Apabila ingin mengetahui hubungan sikap politik dan non-politik dengan
pola-pola perkembangan, maka hal itu harus dapat dipisahkan secara jernih.
Yang terus disadari bahwa sebagian besar masyarakat di
Indonesia, pada dasarnya memiliki kecenderungan yang bersifat hirarkis.
Stratifikasi sosial yang ada memaksa tumbuhnya pemilahan tegas antara penguasa
dengan rakyat yang kerap disebut sebagai akar rumput. Masing-masing dipisah
melalui tatanan hirarkis yang ketat. Sehingga kebanyakan orang masih setia
mengekspresikan diri kepada penguasa dalam ragam tingkah.
2.
Penerapan Pada Masyarakat
Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam
itu antara lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.
Pendekatan struktural semacam inilah yang lalu melahirkan konteks
struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilu
dan lain sebagainya.
Menurut Efriza dalam Political Explorer (2012:492)
struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas
sosial, atau perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perbedaan
kota dan desa, dan bahasa juga nasionalisme. Semua aspek tersebut diprediksi
mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihan politiknya.
Stratifikasi sosial dalam kehidupan politik
dapat kita lihat dari beberapa kecendrungan, antara lain patronase, dan
neo-patrimoniaalistik. .Budaya politik masyarakat berkembang dan
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di masyarakat itu.
Kecendrungan patronage, pola hubungan ini
merupakan salah satu budaya politik yang menonjol, termasuk di Sulawesi Barat.
Bentuknya bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya
politik semacam itu dapat ditelusuri dilingkup pelaku politik. Mereka lebih
memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungn dari basisnya.
Tak heran, masih banyak diantara keluarga kita yang meminta
pendapat untuk memilih siapa di pemilu legislatif atau pemilu gubernur pun
bupati. Mereka tidak berarti tak memiliki kemampuan memilih, tapi lebih
disebabkan adanya pengaruh secara personal yang memungkinkannya untuk mengambil
keputusan yang sama. Atau paling tidak untuk membuat komparasi sebelum
menjatuhkan pilihan.
Orientasi politik individual semacam itu dipengaruhi oleh
perasaan keterlibatan, kelekatan dan sempitnya cara menilai obyek atau mungkin
peristiwa politik. Hal ini dapat diartikan bahwa sikap warga Negara mengenai
respon dan aktivitasnya terhadap sistem politik yang ada masih memerlukan
patron, dan itu ditentukan oleh budaya di lingkungannya.
3.
Sistem Politik
Pada sistem politik, perhatian utamanya pada
sistem sebagai suatu keseluruhan, termasuk berbagai perasaan tertentu seperti
patriotisme dan alienasi, kognisi dan evaluasi terhadap daerah atau bangsa
seberapa besar atau kecil. Dan seberapa kuat dan lemah.
Objek pribadi sebagai aktor politik meliputi isi dan kualitas,
bukan isi tas pribadi. Yang mengikat kewajiban politik seseorang pada
norma-norma, serta kompetensi setiap orang dalam berhadapan dengan sistem
politik. Sikap ini berkaitan dengan rasa percaya diri, dan permusuhan yang
biasa menyeruak di masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
Partisipasi
Politik dan Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Masyarakat
Pengertian
partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan politik.[1] Partisipasi politik dilakukan
orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai
negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi
oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
1.
Landasan Partisipasi Politik
Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau
kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson
membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:
1. kelas
– individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang
serupa.
2. kelompok
atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau
etnis yang serupa.
3. lingkungan
– individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
4. partai
– individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang
sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang
eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan
5. golongan
atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus
menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client,
yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan
ekonomi yang tidak sederajat.
2.
Mode Partisipasi Politik
Mode
partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model
ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi
politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini
sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik
yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements).
Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist),
gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students
protest), dan teror.
3.
Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode
partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu
zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan
politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk
partisipasi politik menjadi:
1. Kegiatan
Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana
partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau
eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
2. Lobby
– yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan
maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
3. Kegiatan
Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku
anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pemerintah;
4. Contacting
– yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan
pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
5. Tindakan
Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna
mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia
atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan
politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson
telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak
membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi
politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan
sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson
belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk
partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik,
atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Misalnya,
Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat
meliputi: (1) Opini publik; (2) Polling; (3) Pemilihan umum; dan (4)
Demokrasi langsung. [6] Opini publik adalah gagasan serta pandangan yang
diekspresikan oleh para pembayar pajak dan konstituen pemilu.
Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung.
Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui pollinginilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.
Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana, murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.
Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah minimal untuk suatu polling adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya adalah besar. Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras, agama, orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di suatu masyarakat. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam stratified sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan sejenisnya).
Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.
Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja pemerintah.
Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung.
Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui pollinginilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.
Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana, murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.
Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah minimal untuk suatu polling adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya adalah besar. Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras, agama, orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di suatu masyarakat. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam stratified sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan sejenisnya).
Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.
Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja pemerintah.
4.
Demokrasi
Langsung
Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih
(konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas plebisit dan referendum. Plebisit adalah
pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah
tertentu.
Budaya politik ini merupakan
budaya yang sudah sangat melekat pada ciri Negara demokrasi dan salah satunya
adalah Negara Indonesia.
Budaya ini sudah sangat
melekat pada masyarakat Indonesia dan sudah bertradisi sejak era revolusi 1998.
Masyarakat bebas untuk menggunakan haknya untuk memilih pemerintahnya sebagai
wakil dari aspirasi masyarakat dan pemerintah yang sudah terpilih dapat
menjalankan kekuasaannya sesuai prosedur yang sudah ada.
Tapi sayangnya tahun ke
tahun berlalu banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak suaranya, sehingga
banyak yang masyarakat yang tidak ikut berpartisipasi dalam pemungutan suara.
Hal ini telah di kaji, bahwa hampir 8% masyarakat Indonesia tidak
berpartisipasi. Namun demikian banyak juga masyarakat yang ikut berpartisipasi
secara langsung mau pun tidak langsung.
Meskipun hal ini sudah
bertradisi tapi tidak sedikit yang ikut berpartisipasi secara langsung dengan mencalonkan diri sebagai wakil rakyat
ataupun dengan tulisan-tulisan yang membangun Negara Indonesia ini agar lebih
baik lagi, akan tetapi banyak masyarakat yang tidak tepat menyampaikan
aspirasinya misalnya dengan demo, ataupun merusak sarana prasarana umum. Hal
ini merupakan salah satu penyimpangan dari budaya politik yang tidak seharusnya
kita contoh sebagai masyarakat yang berpendidikan.
Harapan saya, agar masyarakat bisa
menerima semua kebijakan pemerintah yang ada, baik buruknya program pemerintah
masyarakat yang menilai. Berpartisipasilah menurut kaidah dan tataan yang susai
dengan masyarakat yang berpendidikan, agar menciptakan masyarakat yang peduli
dan mencintai Negara ini. Jadilah panutan bagi Bangsa dan Negara yang baik.
Referensi